JAKARTA – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyebut vonis yang dijatuhkan kepadanya sebagai bagian dari “pengadilan politik daur ulang”. Ia menegaskan bahwa proses hukum yang ia hadapi adalah bentuk pengadilan politik, bukan penegakan hukum yang murni. Pernyataan tersebut disampaikan Hasto usai sidang pembacaan putusan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025), dalam perkara dugaan korupsi terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI.
Dalam putusannya, Majelis Hakim yang dipimpin Rios Rahmanto menjatuhkan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Hasto Kristiyanto. Hakim menyatakan bahwa Hasto terbukti bersalah turut serta dalam pemberian suap yang menyeret nama buronan KPK, Harun Masiku. Perbuatan tersebut dianggap tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi dan merusak integritas demokrasi.
Namun, majelis hakim juga mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan, antara lain sikap sopan terdakwa selama persidangan, belum pernah dihukum, serta statusnya sebagai tokoh publik yang memiliki tanggungan keluarga.
Salah satu orator dalam aksi tersebut menyebut vonis terhadap Hasto sebagai bentuk pembungkaman terhadap tokoh oposisi dan upaya melemahkan kekuatan sipil dalam politik.
Tim Hukum: Sidang Sarat Kepentingan Politik
Tim penasihat hukum Hasto—yang terdiri dari Ronny Talapessy, Todung Mulya Lubis, Maqdir Ismail, dan Febri Diansyah—kompak menyebut bahwa proses persidangan ini tidak mencerminkan keadilan. Mereka menilai banyak kejanggalan dalam proses hukum, mulai dari penggunaan mekanisme splitsing perkara yang tidak semestinya, saksi-saksi yang tidak relevan, hingga kurangnya bukti kuat.
“Sidang ini jelas merupakan rekonstruksi kasus yang dipaksakan. Ini bukan penegakan hukum, tapi kriminalisasi tokoh sipil,” tegas Todung Mulya Lubis.
Febri Diansyah menambahkan bahwa proses peradilan ke depan harus dikoreksi agar tidak memakan korban berikutnya akibat penyimpangan dalam sistem hukum.