Perkembangan teknologi yang menjadi piranti kuat derasnya arus informasi dan komunikasi harus tetap dikendalikan oleh nilai-nilai religi dan kearifan lokal. Tanpa nilai religi dan kearifan local, maka persepsi kebenaran akan dikendalikan oleh mereka yang nir-etika namun handal dalam kendali teknologi. Konten yang tidak bernilai tapi lebih kepada sekedar having fun telah mendominasi jagat digital hari ini. Orinetasi content creator adalah followers dan berakhir di komersial, sementara para penikmat konten tanpa sadar mereka telah menjadi budak-budak para predator moral. Oleh karena itu, religiusitas dan kearifan lokal ini sangat penting dihidupkan kembali dalam dunia modern yang sering kehilangan arah moral. Di tengah derasnya arus globalisasi, religiusitas dan kearifan lokal menjadi jangkar yang menjaga manusia agar tidak hanyut dalam pragmatisme dan individualisme ekstrem.
Pemuda sebagai Arsitek Peradaban Berkelanjutan
Pemuda adalah penggerak utama perubahan. Sejarah bangsa membuktikan bahwa setiap momentum kebangkitan selalu dimulai dari energi pemuda — dari Budi Utomo, Sumpah Pemuda, hingga Reformasi 1998. Kini, peran itu harus diteruskan dalam konteks baru: pembangunan berkelanjutan yang beretika dan berkeadilan. Etika dan adil harus menjadi pengawal utama dalam pembangunan bangsa hari ini. Tidak sedikit kaum akademisi dengan kecukupan gelarnya akan tetapi terlepas dari etika setelah mereka merasa kalah dalam kompetisi dunia, akhirnya nilai akademik tergadaikan demi jabatan dan kekuasaan. Begitu juga keadilan yang masih menjadi slogan di papan reklame dan bacaan di buku ruang kelas akan tetapi hilang pada saat para pemangku kebijakan baik eksekutif maupun legislative sedang berkerumun dalam sindikasi program untuk keuntungan pihak mereka saja.
Dari itulah, pemuda Indonesia harus berani menjadi arsitek peradaban, bukan sekadar penonton globalisasi. Mereka perlu memanfaatkan potensi digital untuk memberdayakan masyarakat, memperjuangkan keadilan lingkungan, dan menumbuhkan semangat solidaritas lintas budaya. Identitas kebangsaan tidak boleh tercerabut oleh teknologi, melainkan harus diartikulasikan ulang dalam ruang digital yang lebih luas. Sumpah Pemuda masa kini bukan lagi hanya tentang “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”, tetapi juga “satu semangat untuk membangun masa depan bersama yang berkelanjutan, bermartabat, dan beradab.”
Penutup: Menyemai Etika dalam Kemajuan
Refleksi Sumpah Pemuda 2025 seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan arah baru pembangunan bangsa: pembangunan yang tidak hanya mengejar kemajuan, tetapi juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, religiusitas, dan kearifan lokal. Kekayaan negara yang melimpah haruslah dikelola untuk sebaik-baiknya kebutuhan rakyatnya. Akan tetapi, hal yang mustahil jika kekayaan bumi Indonesia ini dapat dikelola jika SDM para pemuda nya sendiri tidak mumpuni. Isu tambang, nikel, sumber daya terbarukan, energi ramah lingkungan, perubahan iklim, penanganan sampah, kemandirian pangan dan literasi digital merupakan bagian kecil isu-isu yang harus menjadi diskursus, dikuasai penuh dan diimplementasikan oleh kompetensi dan skil para pemuda kini.






