JAKARTA. pesanjabar.com Pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan polemik tajam di kalangan elite politik. Meski dianggap sebagai upaya meredam kelelahan institusional demi menjaga kualitas demokrasi, DPR justru merespons dengan protes keras, bahkan mewacanakan amandemen UUD 1945. Sejumlah pakar hukum tata negara menilai reaksi DPR bukan semata kekhawatiran prosedural, melainkan bentuk pembingkaian narasi politik untuk menutupi kepentingan kekuasaan. Pakar Hukum Tata Negara dari STH Jentera, Bivitri Susanti, menegaskan bahwa putusan MK harus dinilai dari argumen hukum yang mendasarinya, bukan dari opini politis.
“Menilai putusan MK bukan dengan tuduhan, tapi dengan memeriksa argumen hukumnya. Dan sejauh ini tidak ada yang keliru,” ujar Bivitri dalam diskusi publik daring yang digelar Constitutional and Administrative Law Society, Ahad (6/7/2025).
Menurutnya, anggapan bahwa MK telah melampaui kewenangan sebagai legislator positif adalah narasi usang yang tidak relevan. Di banyak negara, pengadilan konstitusi memang memiliki peran aktif dalam mengisi kekosongan hukum saat parlemen gagal bertindak.
Bivitri menyoroti bahwa elite politik, khususnya dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), justru merasa terganggu bukan karena teknis pemilu, melainkan distribusi kekuasaan yang terancam. “Selama ini pemilu serentak menguntungkan elite, karena kampanye bisa ditumpangkan ke agenda nasional. Sekali logistik, sekali dana,” katanya.
Lebih jauh, ia menyebut kekhawatiran elite adalah hilangnya kendali politik dan ekonomi dalam proses kandidasi, yang selama ini tersentralisasi. Wacana revisi konstitusi untuk membatasi kewenangan MK, menurutnya, mencerminkan upaya melemahkan lembaga yudisial sebagaimana pernah terjadi terhadap KPK.
Senada, Feri Amsari dari Universitas Andalas menilai kegaduhan politik yang muncul justru tidak proporsional. Baginya, putusan MK adalah respons rasional terhadap kerumitan sistem pemilu serentak. “Putusan ini masuk akal, tapi justru karena itulah elite panik,” ucapnya.
Feri juga mengendus adanya agenda tersembunyi, yakni dorongan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD. Menurutnya, pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal akan memutus peluang elite politik menumpang popularitas calon presiden.
Sementara itu, Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada menyatakan MK hanya menjalankan fungsi korektif atas stagnasi sistem hukum pemilu. Ia mengingatkan bahwa DPR selama ini gagal merespons enam opsi reformasi pemilu yang pernah diajukan MK.
“Putusan ini bukan tiba-tiba muncul. Ini adalah koreksi atas kebuntuan reformasi yang tak kunjung digarap parlemen,” tegas Zainal.
Ketiga pakar sepakat bahwa yang diperlukan saat ini adalah peningkatan kesadaran publik terhadap pentingnya konstitusi, agar masyarakat tidak terjebak dalam narasi politik elite semata.