SUBANG, Pesanjabar.com – Tradisi adat Ngaruwat Bumi kembali digelar oleh masyarakat Kampung Adat Banceuy, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, pada 24–26 Juni 2025, bertepatan dengan 28–29 Dzulhijjah 1446 H hingga 1 Muharram 1447 H. Tradisi yang telah berlangsung sejak tahun 1800 ini menjadi bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus penghormatan terhadap alam, budaya, serta para leluhur.
Dengan mengusung tema “Merawat dan Melestarikan Alam dan Budaya, Tanpa Menolak Kemajuan Teknologi”, kegiatan ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai tradisional dapat bersinergi dengan semangat keterbukaan dan perkembangan zaman. Rangkaian acara adat dipimpin oleh para sesepuh setempat, di antaranya Pa Darsono, Pa Wahri, dan Pa Rahman.
Kang Odang, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), yang turut menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan acara ini, menjelaskan kepada pesanjabar.com pada Jumat, 20 Juni 2025, bahwa rangkaian kegiatan dimulai sejak pagi hingga malam hari pada 24 Juni. Agenda hari pertama meliputi Dadahut, Pintu Hek, Nyawen, Ngadiukeun, Ijab Kabul Meuncit Munding, Ngalawar, Sholawatan, hingga pertunjukan seni gembyung dan berbagai kesenian tradisional lainnya.
Pada 25 Juni, kegiatan dilanjutkan dengan ritual Numbal, Tumpengan, Ngarak Dewi Sri, Nyawer Dewi Sri, Ijab Rasul, dan ditutup dengan pagelaran wayang golek. Puncaknya, malam 26 Juni akan diisi dengan Tabligh Akbar.
Lebih lanjut, Kang Odang menuturkan bahwa panitia pelaksana telah dibentuk dua bulan sebelumnya. Tahun ini, Ketua Panitia dipercayakan kepada Maman Suparman. “Seluruh biaya kegiatan ini berasal dari swadaya masyarakat, dengan total kebutuhan mencapai sekitar Rp100 juta. Bentuk partisipasi pun beragam, mulai dari iuran uang tunai, sumbangan beras, makanan, hingga tenaga,” ungkapnya.
Selain menjadi agenda tahunan berbasis budaya, Ngaruwat Bumi juga telah memberikan dampak positif pada sektor pariwisata dan perekonomian warga. Menurut Kang Odang, banyak warga yang membuka homestay dari rumah-rumah pribadi untuk menampung tamu. “Wisatawan yang datang bukan hanya dari Subang atau Bandung, tapi juga dari luar provinsi seperti Bali dan wilayah lain di luar Jawa Barat. Bahkan sejumlah mahasiswa hadir secara mandiri, kebanyakan dari kampus-kampus di Bandung dan diluar Jawa barat” tambahnya.
Pemerintah daerah dan sejumlah unsur pemerintahan dijadwalkan turut hadir sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian budaya lokal yang tetap tumbuh dalam harmoni dengan perkembangan zaman.
Ruwatan Bumi bukan sekadar perayaan tradisi, melainkan juga simbol keberlanjutan kearifan lokal, spiritualitas, dan kemajuan bisa berjalan beriringan demi kesejahteraan bersama. jelasnya. (**)