Menuju Energi Berdaulat: Menilik Potensi Nuklir Indonesia

Di tengah krisis energi dan meningkatnya kebutuhan listrik nasional, Indonesia memiliki potensi sumber daya energi yang jarang dibicarakan: Uranium dan Thorium. Sumber daya ini menyimpan peluang strategis, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan, tetapi juga sebagai bagian dari kedaulatan energi nasional di masa depan.

Menurut data Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Indonesia ditaksir memiliki cadangan uranium
sebanyak 80.000 ton, dan Kalan Kalimantan Barat saja mengandung potensi 24.000 ton uranium  logam. Angka ini memang belum sebesar negara-negara produsen utama seperti Kanada, Australia, atau
Kazakhstan, namun cukup signifikan untuk mendukung pengembangan reaktor nuklir skala kecil
maupun besar jika dikelola secara optimal.

Uranium
Uranium adalah unsur logam radioaktif yang digunakan sebagai bahan bakar utama dalam
pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Uranium mampu menghasilkan listrik jauh lebih efisien
dibandingkan batubara atau gas alam. Misalnya, 1 gram uranium (ditambang dari sekitar 300 kg batuan) dapat menghasilkan energi setara dengan 3 ton batubara. Namun, uranium murni tidak tersedia di alam. Ia terdapat dalam batuan — senyawa seperti U₃O₈ — dengan kadar bervariasi, dari hanya 0,01% sampai lebih dari 20%. Di Indonesia, kadar uranium dalam batuan umumnya berada pada kisaran 0,05% hingga 0,3%, yang tergolong kadar rendah hingga sedang.

Letak Uranium Indonesia
Eksplorasi selama beberapa dekade menunjukkan bahwa pulau Kalimantan adalah wilayah berpotensi
uranium terbesar di Indonesia. Wilayah Kalan, Kalimantan Barat, menjadi pusat penelitian dan
4 eksplorasi uranium sejak 1980-an. Di sana ditemukan endapan uranium dalam batuan granit dan
metamorf, dengan kadar ekonomis antara 0,1% hingga 0,3%. Selain Kalimantan, beberapa daerah lain seperti Papua, Sulawesi, dan Bangka Belitung juga menunjukkan anomali radiometrik yang menandakan potensi uranium, meski belum dieksplorasi secara mendalam. Pengelolaan dan eksplorasi lebih lanjut tentu membutuhkan komitmen politik, investasi teknologi, dan regulasi ketat agar sumber daya ini tidak justru menjadi ancaman lingkungan atau keamanan.

Pengayaan Uranium
Satu isu yang kerap muncul dalam pembicaraan tentang uranium adalah pengayaan (enrichment).
Uranium alami hanya mengandung sekitar 0,7% isotop U-235, sementara sisanya adalah U-238 yang
tidak reaktif. Agar dapat digunakan sebagai bahan bakar reaktor modern, uranium harus diperkaya
menjadi 3–5% U-235.  Untuk memperoleh 1 gram U-235 dari uranium yang akan diperkaya menjadi 5%, dan dengan asumsi bijih mengandung 0,05% uranium, maka diperlukan sekitar: 286 kg batuan. Pada praktik industri, kebutuhan reaktor skala 1 GW bisa butuh puluhan ton U-235 per tahun, sehingga skala tambangnya menjadi jutaan ton batuan.

Belum termasuk efisiensi ekstraksi, rugi pemrosesan, dan energi untuk pengayaan (centrifuge cascade).
Oleh karena itu, biaya dan dampak lingkungan dari penambangan uranium sangat tergantung pada
kadar bijih. Tambang berkadar 0,05% tergolong rendah, tapi masih layak dengan teknologi efisien.

Proses pengayaan ini dilakukan dengan alat centrifuge, yang memutar gas uranium dengan kecepatan sangat tinggi untuk memisahkan isotop yang lebih ringan (U-235) dari yang lebih berat (U238). Teknologi ini sangat sensitif, karena jika dilanjutkan hingga mencapai 90% U-235, maka uranium tersebut sudah tergolong “weapons-grade”, dan dapat digunakan dalam bom atom.

Ilustrasi PLTN di Buhsehr Iran (Foto: AP).

Karena itulah, fasilitas pengayaan uranium selalu berada di bawah pengawasan internasional ketat,
seperti dari IAEA (Badan Energi Atom Internasional). Isu proliferasi atau penyebaran senjata nuklir menjadi alasan mengapa banyak negara waspada terhadap proyek nuklir, bahkan jika tujuannya untuk damai.

Indonesia telah berkomitmen penuh pada penggunaan energi nuklir secara damai, termasuk meratifikasi perjanjian non-proliferasi senjata nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons – NPT). Namun tetap saja, pengembangan teknologi pengayaan harus diatur transparan dan akuntabel.

Keandalan Energi
Dengan asumsi penggunaan reaktor skala 1.000 MW (megawatt), maka kebutuhan uranium per tahun
sekitar sekitar 180 ton Uranium alam. Artinya, cadangan uranium Indonesia sebanyak 80.000 ton
secara teoritis cukup untuk mengoperasikan satu PLTN besar (berdaya 1 GW) selama 444 tahun. Ini
bisa diekstensi bila memakai teknologi daur bahan bakar nuklir tertutup.

Jika Indonesia mengembangkan PLTN modular berukuran kecil (SMR) berdaya lebih kecil, yang hanya
perlu beberapa ton uranium per tahun, maka kemandirian energi berbasis nuklir menjadi sangat
mungkin. Bersama bauran dengan energi terbarukan lainnya (surya, angin, laut, geotermal), ini bisa
memperkuat sistem kelistrikan nasional tanpa ketergantungan pada energi fosil atau impor BBM.
Karena geografis Indonesia yang kepulauan, mungkin juga perlu mengembangkan PLTN kecil apung
(berupa sebuah kapal) untuk melayani pulau-pulau terpencil.

Thorium
Selain Uranium, yang potensial untuk energi adalah Thorium yang tiga kali lebih melimpah. Ia tidak bisa
dijadikan senjata nuklir, dan menghasilkan limbah radioaktif jauh lebih sedikit. Inilah energi yang
ditunggu dunia — dan Indonesia bisa jadi salah satu pemilik cadangan thorium terbesar di Asia.

Lokasi cadangan Thorium Indonesia

Menurut BATAN, Indonesia memiliki potensi thorium sebesar 210.000 ton, tersebar terutama di Bangka
Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Thorium ini terdapat dalam mineral monasit, produk sampingan dari penambangan timah.  Jika digunakan dalam PLTN berbasis thorium (LFTR)
yang dapat didesain bertipe pembiak (breeder), maka hanya sekitar 1 ton thorium per tahun diperlukan untuk PLTN berdaya 1 GW. Artinya, cadangan 210.000 ton cukup untuk menghidupi satu PLTN selama 210.000 tahun — jauh lebih lama dari seluruh sejarah peradaban manusia.

Energi Tanpa Ancaman
Tidak seperti uranium atau plutonium, thorium tidak bisa digunakan langsung untuk membuat bom.
Bahkan ketika thorium diubah menjadi uranium-233 dalam reaktor, ia akan terkontaminasi isotop U-232 dan produk peluruhannya yakni Thallium-208 yang memancarkan sinar gamma — menjadikannya tidak praktis digunakan sebagai senjata nuklir.

Meskipun demikian, di dunia ini faktanya negara adidaya yang memiliki senjata nuklir sering bertindak
sewenang-wenang, dan mereka hanya gentar oleh negara lain yang juga memiliki senjata nuklir.

Amanah Peradaban
Umat Islam memiliki tanggung jawab historis untuk menguasai dan mengarahkan ilmu pengetahuan
menuju rahmat bagi seluruh alam. Dalam sejarahnya, para ilmuwan Muslim tidak pernah mengembangkan ilmu untuk menjajah, tetapi untuk membebaskan umat dari ketidaktahuan dan ketertindasan. Imam Al-Ghazali berkata: “Ilmu adalah kekuatan yang mulia. Jika ia dimiliki oleh orang zalim, ia menjadi alat kerusakan. Tapi jika ia dimiliki oleh orang bertakwa, ia menjadi cahaya yang
membimbing manusia kepada kebenaran.” Ibnu Khaldun mengingatkan dalam Muqaddimah:“Kekuatan negara tergantung pada ilmu dan teknologi. Dan kekuasaan yang tidak ditopang ilmu, adalah kehancuran yang menunggu waktu.”

Maka jika hari ini bangsa-bangsa kuat menggunakan teknologi nuklir untuk menindas dan menakutnakuti, umat Islam harus menunjukkan jalan sebaliknya — mengembangkan teknologi untuk
memerdekakan, mencerdaskan, dan menyejahterakan.

Sudah saatnya Indonesia keluar dari keraguan, dari ketakutan akan “bahaya nuklir” yang seringkali lebih
politis daripada teknis. Dengan niat yang lurus, sistem yang transparan, dan kepemimpinan yang
amanah, kita bisa memulai riset terpadu nasional thorium: dari hulu (penambangan dan pengolahan
monasit), hingga hilir (reaktor modular dan sistem energi lokal). Tentu saja dalam riset ini akan
melibatkan Uranium juga.

Bila negeri-negeri lain berebut urat minyak, biarlah Indonesia menjadi negeri pertama yang menyalakan
lampu peradaban dari thorium. Karena sejatinya, Islam tidak menolak teknologi — Islam justru
membebaskan teknologi dari hegemoni tiran. Umat Islam wajib mengembangkan teknologi nuklir ini agar ia tidak menjadi alat penjajahan, melainkan sarana pembebasan umat manusia dari penjajahan.

Daftar Pustaka
BATAN (kini BRIN): Laporan eksplorasi uranium di Kalan, Kalbar
BATAN (kini BRIN): Kajian Sumber Daya Monasit Indonesia, 2021
BATAN (kini BRIN): Potensi Uranium Indonesia (PDF)
12
IAEA (International Atomic Energy Agency) Reports on Uranium
Exploration in SE Asia https://www.iaea.org
IAEA Red Book: “Uranium 2022: Resources, Production and Demand”,
OECD-NEA & IAEA
IEA (International Energy Agency)
IRENA (International Renewable Energy Agency)

Penulis. Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) No. 009 03 | 07 | 2025
Menyalakan akal, memandu arah bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *