Indonesia (2025)
Dalam waktu kurang dari satu tahun pelaksanaan MBG, sebanyak 11.640 orang mengalami keracunan, dengan 636 di antaranya harus dirawat inap. Program ini menyumbang 48% dari seluruh kasus keracunan pangan nasional pada tahun yang sama. Skala distribusi MBG memang masif—lebih dari sumber: https://nasional.kompas.com dan https://ekonomi.bisnis.com) 1,8 miliar porsi makanan telah diproduksi dan disalurkan ke sekolah-sekolah di 26 provinsi (sumber: https://www.akurat.co).
Namun, justru karena skala inilah, risiko sistemik menjadi lebih nyata: dari pengadaan bahan baku, pengolahan di SPPG (Sentra Penyediaan Pangan Gizi), hingga distribusi akhir ke tangan anak-anak.
Kuantitas vs Kualitas
Jika kita bandingkan secara rasio, Indonesia menunjukkan angka kejadian keracunan yang lebih tinggi dalam waktu yang jauh lebih singkat. Ini mengindikasikan bahwa mekanisme pengawasan dan jaminan mutu dalam pelaksanaan MBG masih jauh dari ideal. Dibandingkan dengan AS dan Brasil yang telah belajar dari pengalaman panjang, Indonesia tampaknya mengulangi pola yang sama: mengutamakan cakupan sebelum kesiapan sistemik.
Akan tetapi, bukan berarti MBG harus dihentikan. Justru, pengalaman internasional (khusus dua negara tersebut) menunjukkan bahwa perbaikan sistem pengawasan, pelatihan tenaga dapur, dan pelibatan komunitas lokal merupakan kunci untuk menekan risiko. Brasil, misalnya, berhasil menurunkan angka keracunan secara signifikan setelah menerapkan sistem audit pangan berbasis komunitas, dan memperkuat peran koperasi lokal dalam penyediaan bahan pangan.
Catatan penutup
Makanan bergizi bukan hanya soal kandungan zat gizi, tapi termasuk juga keamanan dan kepercayaan publik. Indonesia memiliki peluang besar untuk belajar dari pengalaman global, bukan hanya dalam hal distribusi pangan, melainkan dalam membangun ekosistem pangan sekolah yang berkelanjutan, aman, dan partisipatif. MBG bukan sekadar program makan gratis – ia adalah cermin dari bagaimana negara memperlakukan masa depan bangsanya.
Penulis: Silahudin
Pemerhati Sosial Politik, Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung






