Insting Pengendali: Menjadi Nahkoda di Tengah Badai
Jika nalar adaptif membuat seseorang mampu membaca situasi, maka insting pengendali menjadikannya mampu menahan diri agar tidak hanyut. Insting pengendali adalah kemampuan menjadi nahkoda, bukan sekadar penumpang. Rhenald Khasali sering membandingkan mental driver versus passanger. Keduanya berbeda secara diametral antara mentar trendsetter versus follower. Secara fundamental bahwa mental driver atau trendsetter tercermin dari tanggungjawab diri dalam membangun performa diri untuk layak diakui public. Kepercayaan terhadap kemampuan dirinya untuk menjadi teladan adalah bukti bahwa dirinya punya kualitas diri yang bisa diperhitungkan. Berbeda dengan passanger atau follower, mental ini terlihat ketika seseorang tidak ingin mengambil resiko dan merasa nyaman dengan kondisi saat ini yang dirasa aman (comfort zone). Keduanya memiliki resiko; driver atau trendsetter akan banyak tantangan tapi berpeluang mendapatkan kesempatan hidup lebih baik, sementara resiko menjadi follower atau passenger, ia tidak akan memiliki kepastian hidup di masa mendatang.
Di sinilah relevansi teori psikologi motivasi. Albert Bandura, dengan konsep self-efficacy, menekankan pentingnya keyakinan diri untuk mampu mengendalikan tindakan. Sementara Viktor Frankl, seorang psikiater sekaligus penyintas kamp konsentrasi Nazi, mengingatkan dalam bukunya Man’s Search for Meaning bahwa manusia selalu memiliki kebebasan terakhir: memilih sikap dalam menghadapi penderitaan. Itulah inti pengendalian diri. Dalam kehidupan sehari-hari, insting pengendali teruji ketika seseorang berhadapan dengan distraksi digital: notifikasi media sosial, ajakan konsumtif, atau euforia tren yang bergulir begitu cepat. Mereka yang tidak memiliki kendali akan hanyut. Sebaliknya, mereka yang memiliki kendali diri akan mampu menunda kesenangan, menyeleksi pilihan, dan menjaga arah hidup.
Iman sebagai Penambat
Dalam perspektif Islam, nalar adaptif dan insting pengendali menemukan pijakan yang kokoh. Rasulullah SAW menegaskan: “Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu menahan dirinya ketika marah” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa kekuatan sejati ada pada kemampuan mengendalikan diri, bukan sekadar memenangkan pertarungan fisik.
Al-Qur’an juga memberikan pedoman yang sangat relevan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra: 36). Ayat ini mengingatkan agar manusia selektif dalam menerima informasi, kritis dalam berpikir, dan sadar akan tanggung jawab moral. Lebih jauh, dalam QS. Al-‘Asr, Allah menegaskan bahwa manusia sesungguhnya merugi kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan kesabaran. Pesan ini jelas: adaptasi membutuhkan iman, pengendalian diri membutuhkan kesabaran, dan keduanya membutuhkan solidaritas sosial.
Membangun nalar adaptif dan insting pengendali bukan sekadar tugas individu. Ini adalah tanggung jawab bersama—keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara. Orang tua perlu memberi ruang dialog, bukan sekadar instruksi, agar anak terbiasa menimbang pilihan. Sekolah harus mengajarkan literasi digital dan literasi moral secara bersamaan. Masyarakat harus menyediakan teladan dalam menyikapi perubahan, bukan hanya ikut-ikutan. Negara pun berkewajiban menyiapkan kebijakan yang tidak hanya mengejar kecepatan teknologi, tetapi juga memperkuat ketahanan psikologis dan spiritual generasi mudanya.