JAKARTA. pesanjabar.com – Mantan Menko Polhukam Prof. Mahfud MD mengungkap kondisi paradoks yang dialami Indonesia saat ini. Dalam kegiatan Sekolah Nahdliyin Pergerakan (Sniper) yang digelar PWNU DKI Jakarta pada Sabtu (28/6/2025), Mahfud menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto melihat Indonesia sebagai negara yang kaya, namun rakyatnya masih miskin—sebuah kondisi yang menggambarkan ketimpangan struktural yang nyata.
Mahfud menjelaskan bahwa pandangan tersebut bersumber dari buku Paradoks Indonesia yang kini menjadi bacaan wajib para menteri kabinet. Dalam buku itu, disebutkan bahwa politik Indonesia saat ini dikendalikan oleh kekuatan modal, membentuk sistem plutokrasi di mana pengaruh pemilik modal sangat dominan dalam pengambilan keputusan politik.
“Ternyata Prabowo menganggap politik Indonesia sekarang adalah oligarki. Negara ini dikuasai oleh pemilik modal. Pemerintahan kita menjadi plutokrasi,” ujar Mahfud.
Mahfud juga mengungkap data mengejutkan tentang ketimpangan ekonomi: 1 persen penduduk Indonesia menguasai 50,6 persen kekayaan nasional, sementara 10 persen kelompok terkaya menguasai hingga 73 persen aset negara. Di sisi lain, 99 persen penduduk hanya menikmati sisa dari kekayaan yang ada.
Ia juga menyoroti fenomena capital flight, di mana sekitar Rp 1.400 triliun kekayaan nasional tersimpan di luar negeri, hampir menyamai total APBN Indonesia yang sebesar Rp 2.100 triliun. Salah satu contoh ironi ekonomi disebut Mahfud terjadi dalam perdagangan minyak, di mana minyak mentah dijual murah ke Singapura lalu diimpor kembali ke Indonesia dengan harga tiga kali lipat—tanpa berpindah lokasi secara fisik.
Mahfud pun mengkritisi rendahnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang masih berada di angka 37, jauh dari target 60 poin yang dicita-citakan sejak era reformasi. Ia juga menyinggung indeks Gini yang masih menunjukkan kesenjangan besar, yakni sebesar 0,381.
Namun, Mahfud tidak hanya menyampaikan kritik. Ia juga mencatat sejumlah capaian positif, seperti meningkatnya angka partisipasi pendidikan tinggi yang kini mencapai 32 persen, dengan jumlah lulusan perguruan tinggi lebih dari 17 juta orang. Di bidang pengentasan kemiskinan, Indonesia dinilai cukup maju dengan tingkat kemiskinan yang menurun menjadi 8,7 persen.
“Kita tetap harus mengakui kemajuan. Tapi jangan menutup mata terhadap persoalan struktural yang masih mengakar,” tutup Mahfud.