Koordinasi lintas lembaga juga menjadi langkah penting, mencakup kerja sama antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait apabila ditemukan anak dengan risiko tinggi mengalami gangguan mental. Pemanfaatan data kehadiran, perilaku, dan interaksi sosial siswa pun dapat dijadikan indikator awal kesejahteraan psikologis.
“Intervensi cepat dengan pendekatan empati menjadi kunci utama. Dukungan psikologis awal harus segera diberikan melalui pendampingan psikolog sekolah atau tenaga kesehatan mental dari puskesmas,” lanjut Aris.
Ia menambahkan bahwa keterlibatan keluarga juga sangat dibutuhkan dalam proses pemulihan anak.
“Peran keluarga sangat penting untuk menciptakan komunikasi positif dan penguatan spiritual bagi anak yang mengalami tekanan mental,” tuturnya.
KPAI menyoroti bahwa peristiwa dugaan bunuh diri dua pelajar di Sawahlunto (Sumatera Barat) dan Sukabumi (Jawa Barat) baru-baru ini menjadi peringatan serius bagi dunia pendidikan dan masyarakat.
“Kejadian tragis ini harus menjadi alarm bagi semua pihak untuk lebih peka terhadap kesehatan mental anak dan remaja,” pungkas Aris. (**)
