Kerusuhan Indonesia 2025: Antara Ledakan Spontan dan Pertarungan Elit

“Kerusuhan 2025 bukan sekadar ledakan spontan rakyat, melainkan orkestra multi-aktor di panggung politik yang retak.” (Dr. Gugyh Susandy, SE.,M.Si.,CDMS)

ilustrasi/PESANJABAR
Ilustrasi

REDAKSI.pesanjabar.comPendahuluan. Kerusuhan besar melanda Indonesia pada akhir Agustus 2025. Awalnya, aksi mahasiswa menolak kebijakan tunjangan hunian DPR berubah menjadi gelombang kekerasan: bentrokan, pembakaran gedung, penjarahan, hingga runtuhnya rasa aman di kota-kota besar.

Dampaknya sangat serius: enam orang meninggal, ratusan luka-luka, kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah. Yang mengejutkan, aksi ini berlangsung tanpa mobil komando, tanpa orator tunggal, tanpa panitia aksi. Gerakan tampak desentralistik, sporadis, dan viral—seolah menjadi “Reformasi 1998 jilid baru” dengan wajah digital.

Pertanyaan yang muncul:

  1. Faktor apa yang membuat aksi cepat meluas?
  2. Siapa pelaku lapangan jika tidak ada korlap?
  3. Adakah aktor intelektual di balik layar?
  4. Siapa yang diuntungkan dari kekacauan ini?

Makalah ini menjawab pertanyaan tersebut dengan pendekatan teori gerakan sosial (moral shock, leaderless movement) serta politik pasca-Orde Baru (elite factionalism, oligarki).

Kerangka Teori

  • Moral Shock (Jasper, 1997): pengalaman emosional publik ketika melihat ketidakadilan tragis, seperti kematian demonstran.
  • Leaderless Movement (Gerbaudo, 2018): media sosial memungkinkan mobilisasi cair, cepat, tanpa kepemimpinan formal.
  • Politik Oligarki (Hadiz, 2010; Winters, 2011): politik Indonesia didominasi persaingan antar-elit, sehingga konflik sering dikaitkan dengan faksi internal.

Kerangka ini membantu melihat kerusuhan 2025 sebagai hasil pertemuan antara emosi rakyat, teknologi digital, dan persaingan elit.

Laman: 1 2 3 4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *