Kemerdekaan Data dan Kedaulatan Teknologi

"Di era digital, invasi tak lagi datang dengan senjata, tapi lewat algoritma dan server." (Dr. Gugyh Susandy, SE, M.Si., CDMS)

REDAKSI.pesanjabar.com – Di era digital, data menjadi sumber daya strategis layaknya “minyak baru”. Berbeda dari sumber daya alam fisik, data bersifat tak kasat mata dan dapat dengan mudah menembus batas negara tanpa disadari pemiliknya. Inilah tantangan kedaulatan baru: kedaulatan data.

Indonesia—sebagai negara dengan pengguna digital terbesar keempat di dunia—memproduksi miliaran titik data setiap hari. Namun, sebagian besar dikuasai dan diolah oleh perusahaan teknologi asing. Meski data tersebut berasal dari warga Indonesia, kendalinya berada di tangan entitas luar. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka secara digital?

AS dan Ketimpangan Aturan Perlindungan Data
Amerika Serikat, rumah bagi raksasa teknologi seperti Google, Meta, dan Amazon, tidak memiliki undang-undang federal yang komprehensif untuk perlindungan data pribadi, berbeda dengan Uni Eropa (GDPR) atau Indonesia (UU PDP). Perlindungan di AS cenderung sektoral, dan hukum seperti FISA Section 702 justru memberi wewenang pemerintahnya mengakses data warga asing yang tersimpan di server perusahaan AS—termasuk data warga Indonesia di Google Drive, Gmail, atau Facebook.

Risikonya besar: dari pengawasan massal, manipulasi opini publik, pemerasan terhadap tokoh penting, hingga sabotase ekonomi. Tanpa kendali atas aliran data, suatu negara dapat dilemahkan melalui dominasi informasi, bukan invasi militer.

Transfer Data yang Terjadi Tanpa Disadari
Praktik ini bukan ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang sudah berjalan. Setiap kali kita memakai Android, Google Docs, atau Instagram, data langsung mengalir ke infrastruktur asing. Persetujuan pada terms & conditions hanyalah formalitas hukum, bukan keputusan sadar. Meski ada UU PDP, kedaulatan data tetap rapuh jika infrastruktur digital masih bergantung pada pihak luar.

Tanpa Kedaulatan Teknologi, Kedaulatan Data Hanya Ilusi
Kedaulatan data hanya mungkin tercapai jika negara membangun teknologinya sendiri. China menjadi contoh nyata dengan menghadirkan Baidu, WeChat, Weibo, Douyin, hingga sistem operasi dan perangkat keras buatan sendiri, semuanya berjalan di atas infrastruktur nasional yang tidak bisa diintervensi pihak luar. Keberhasilan ini ditopang oleh arah ideologis yang menekankan kemandirian dan kontrol penuh negara atas ruang digital.

Motivasi Umat Islam untuk Mandiri Digital
Jika negara sekuler seperti China bisa mandiri, umat Islam seharusnya lebih termotivasi karena dorongan etis sekaligus spiritual. Islam memandang kedaulatan sebagai bagian dari amanah manusia sebagai khalifah. QS An-Nisa: 141 menegaskan larangan membiarkan orang kafir menguasai orang beriman—termasuk dalam bidang teknologi. Ketergantungan digital pada pihak asing membuat kita rentan secara ekonomi, budaya, dan keamanan nasional.

Strategi Menuju Kedaulatan Digital
Langkah yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Membangun platform digital mandiri dengan dukungan pemerintah, kampus, dan pesantren.

  2. Mewajibkan penyimpanan data strategis di dalam negeri.

  3. Mengembangkan cloud nasional berdaulat, bukan sekadar perpanjangan layanan asing.

  4. Menjalin perjanjian data lintas batas hanya dengan negara yang setara standar perlindungannya.

  5. Mendidik generasi muda untuk menjadi pembuat, bukan hanya pengguna teknologi.

Penutup
Kedaulatan data mustahil tercapai tanpa kedaulatan teknologi. Setiap aplikasi asing membawa rantai kebijakan dan infrastruktur yang berada di luar kendali kita. Sudah saatnya Indonesia—khususnya umat Islam membangun ekosistem digital yang mandiri, aman, dan selaras dengan syariat serta nilai kebangsaan, demi melindungi identitas dan masa depan bangsa.

Penulis: Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI)

Source: HILMI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *