REDAKSI. – Saya tumbuh di masa ketika pendidikan berlangsung sederhana, namun sarat makna. Kala itu, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga teladan. Saya mengalami masa pendidikan yang disiplin di era Orde Baru dan melihat perubahan nilai di masa Reformasi. Dua periode itu memberi pelajaran penting: pendidikan sejati tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga membentuk moral.
Kini, di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, banyak orang tua lebih fokus mengejar prestasi akademik anak—nilai tinggi, sertifikat, hingga sekolah bergengsi. Sayangnya, tidak sedikit yang melupakan pendidikan moral, etika, dan adab. Padahal, hakikat pendidikan sejati adalah membentuk manusia berakhlak, bukan sekadar berpengetahuan.
Di sinilah peran pesantren menjadi sangat penting. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, melainkan benteng moral dan pusat pembentukan karakter. Di sana, para santri tidak sekadar diajarkan mana yang benar atau salah, tetapi bagaimana bersikap benar dalam situasi apa pun, bahkan saat tak ada yang mengawasi.
Pesantren mendidik dengan kedisiplinan, kesabaran, kerendahan hati, serta penghormatan kepada guru dan sesama. Nilai-nilai ini sering kali luput dari sistem sekolah umum yang lebih menitikberatkan pada capaian akademik. Guru di pesantren bukan sekadar pendidik, melainkan pembimbing spiritual (mursyid) yang membina jiwa santri. Hubungan antara kiai dan santri dibangun di atas dasar kasih dan keteladanan.
Saya masih ingat bagaimana para guru di masa kecil bukan hanya mengajarkan teori, tetapi memberi contoh lewat tindakan. Mereka datang lebih awal, tampil rapi, berbicara sopan, dan hidup sederhana. Dari mereka, kami belajar bahwa pendidikan moral lebih efektif melalui teladan, bukan sekadar kata-kata. Prinsip ini pula yang tetap hidup di pesantren: adab lebih dulu, baru ilmu.






