Subang, Pesanjabar.com – Dalam ajaran Islam, cinta kepada Allah SWT merupakan puncak dari seluruh perjalanan spiritual seorang hamba. Cinta ini tidak hanya berdimensi emosional, tetapi juga menjadi kekuatan pendorong utama dalam perbuatan, pilihan hidup, dan interaksi sosial seorang Muslim. Sebuah hadis qudsi menyebutkan:
“Kecintaan-Ku wajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, saling duduk bersama karena-Ku, saling mengunjungi karena-Ku, dan saling memberi karena-Ku.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, no. 1711).
Dalam konteks ini, “wajib” bukan dalam arti hukum syariat, tetapi lebih dekat kepada makna keniscayaan atau kepastian ilahiyah: bahwa siapa yang mencintai karena Allah, niscaya akan mendapatkan cinta dari-Nya.
Empat Golongan yang Dijanjikan Cinta Allah
1. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah
Cinta yang tulus karena Allah adalah cinta yang tidak didasarkan pada kepentingan duniawi, tetapi semata-mata karena mengharapkan keridaan-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, kelak Allah Yang Maha Pengasih akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96).
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa salah satu tanda keimanan sejati adalah mencintai sesama Muslim karena Allah, bukan karena harta, nasab, atau kedudukan.
2. Orang-orang yang memutuskan hubungan karena Allah
Dalam tataran praksis, cinta kepada Allah juga menuntut seseorang untuk melepaskan diri dari hubungan atau ikatan yang bertentangan dengan ajaran dan kehendak Allah. Ini termasuk memutuskan hubungan dengan mereka yang terang-terangan menentang agama-Nya.
Dalam QS. Al-Mujadilah: 22, Allah berfirman:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…”
Menurut Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij as-Salikin, pemutusan ini bukan karena kebencian personal, tetapi karena menjaga kemurnian iman dari pengaruh yang dapat menyesatkan.
3. Orang-orang yang menyambung kembali hubungan karena Allah
Islam sangat menekankan nilai persaudaraan dan rekonsiliasi. QS. Al-Hujurat: 10 menegaskan:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.”
Menyambung silaturahmi setelah permusuhan adalah bentuk keimanan yang tinggi. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa:
“Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari…”
Dari perspektif etika, rekonsiliasi ini merupakan manifestasi dari kebajikan moral seperti pengampunan, empati, dan keutamaan memelihara kedamaian sosial.
4. Orang-orang yang bertawakal kepada Allah
Tawakal adalah salah satu tingkatan iman tertinggi. QS. At-Talaq: 3 menyatakan:
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan keperluannya.”
Menurut Imam Ibn ‘Ajibah dalam Bahr al-Madid, tawakal bukanlah pasrah pasif, melainkan perpaduan antara usaha maksimal dan penyerahan penuh kepada Allah. Ini sejalan dengan filsafat stoikisme dan eksistensialisme yang menekankan sikap menerima terhadap hal-hal yang berada di luar kendali manusia.
Filsafat Cinta Ilahi
Ontologi: Hakikat Cinta dan Keberadaan
Cinta kepada Allah mengarahkan manusia kepada sumber segala keberadaan. Dalam pandangan para sufi seperti Ibn Arabi dan Rumi, cinta adalah esensi dari penciptaan itu sendiri. Allah menciptakan makhluk karena cinta-Nya
“Aku adalah harta tersembunyi dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk.” (Hadis Qudsi – dinukil oleh Ibn Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah)
Epistemologi: Cinta sebagai Jalan Menuju Makrifat
Makrifat adalah bentuk pengetahuan tertinggi yang diperoleh melalui hati yang jernih. Ibn ‘Ataillah mengatakan, “Jika Allah mencintaimu, Dia akan membukakan hatimu untuk mengenal-Nya.”, dan Rumi juga mengatakan, “Barang siapa mengenal diri-Nya, niscaya ia akan mengenal Tuhan-Nya.”.
“Tidak ada yang mengenal-Ku kecuali orang yang mencintai-Ku.”
(Disarikan dari pemikiran Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin)
Melalui cinta, seseorang memahami nilai-nilai yang lebih tinggi dan hakikat kehidupan yang tak kasatmata. Ini adalah pengetahuan yang tidak bisa dicapai hanya dengan akal, tetapi melalui penyucian jiwa dan pendekatan spiritual. Dalam epistemologi umum, cinta merupakan suatu immateri, pengetahuan wahmi atau perasaan yang masuk pada id dan super ego manusia. Bagian ini merupakan dorongan kuat atas perasaan manusia yang kemudian bermanifestasi sebagai tindakan, tindakan ini akan senantiasa mengarah pada jalan-jalan kemakrifatan yang dibimbimng oleh kesucian jiwa, sehingga itulah mengapa cinta sebagai jalan menuju makrifat.
Aksiologi: Nilai Moral dalam Cinta Ilahi
Mereka yang mencintai Allah akan secara otomatis mencintai segala sesuatu yang dicintai-Nya: Rasulullah, para sahabat, ulama, dan orang-orang saleh. Dalam QS. At-Taubah: 100, Allah menyebut para sahabat sebagai golongan yang diridai-Nya dan menjadi contoh generasi terbaik.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah:100).
Nilai moral dalam cinta Ilahi berarti bahwa cinta kepada Allah mendorong seseorang untuk berperilaku baik, berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Cinta ini tidak hanya bersifat batin, tetapi nyata dalam tindakan dan hubungan sosial.
“Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan karena Allah, maka imannya sempurna.” (HR. Abu Dawud).
Kecintaan ini bukan fanatisme buta, tetapi bentuk kesetiaan spiritual dan moral terhadap nilai-nilai ilahiyah.
Cinta Ilahi dan Jalur Penghubungnya
Dalam Islam, cinta kepada Allah tidak bisa dilepaskan dari kecintaan kepada makhluk-makhluk pilihan-Nya. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seseorang beriman hingga aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecintaan ini kemudian diturunkan kepada para Ahlul Bait, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Imam Ja’far as-Shadiq berkata, “Mencintai kami adalah bentuk ibadah.”
Cinta Ilahi bukan hanya sebuah perasaan; ia adalah jalan hidup, standar etika, dan ukuran keimanan. Ia terefleksi dalam siapa yang kita cintai, siapa yang kita jauhi, bagaimana kita menjaga hubungan, dan kepada siapa kita menyerahkan diri. Jalan menuju Allah adalah jalan cinta, dan cinta ini ditunjukkan melalui tindakan nyata terhadap orang-orang yang dicintai Allah.
Cinta kepada Allah tidak mungkin sempurna tanpa mencintai orang-orang yang dicintai-Nya. Dan jalan terbaik untuk menggapai cinta-Nya adalah mencintai dengan ketulusan, menjaga persaudaraan, menjauh dari hal yang dimurkai-Nya, dan bertawakal kepada-Nya.
Sumber referensi;
Al-Qur’an al-Karim
Malik bin Anas, al-Muwaththa’
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij as-Salikin
Ibn ‘Ajibah, Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar
Jalaluddin Rumi, Mathnawi
Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyyah
(**)