REDAKSI.pesanjabar.com – Film Pengepungan di Bukit Duri menghadirkan sebuah kisah kelam yang sarat emosi, trauma, dan perjuangan hidup. Cerita dimulai dengan latar kerusuhan yang menyasar etnis Tionghoa. Edwin (Morgan Oey) dan kakaknya, Cici, menjadi korban dari amuk massa yang begitu brutal. Di tengah kerusuhan itu, Cici mengalami nasib tragis karena diperkosa beramai-ramai, sementara Edwin sendiri harus menyaksikan langsung kekejian tersebut. Sejak hari itu, luka emosional mendalam terus membayangi hidupnya.
Waktu berjalan, Cici jatuh sakit akibat trauma dan derita panjang yang dialaminya. Menjelang akhir hayatnya, ia berpesan kepada Edwin agar menemukan anaknya yang hilang. Pesan terakhir itu menjadi beban sekaligus tekad bagi Edwin untuk melaksanakan wasiat sang kakak.
Beberapa tahun kemudian, Edwin menjadi seorang guru di SMA Duri, sebuah sekolah yang terkenal dengan reputasi buruknya. Banyak siswanya terjerumus dalam tindak kekerasan, narkoba, hingga kenakalan sosial yang sulit dikendalikan. Bagi Edwin, mengajar di sekolah ini bukan hanya tentang mendidik, melainkan juga perjuangan moral di tengah lingkungan yang keras.
Namun, di balik tugas mengajar itu, Edwin menyimpan misi pribadi: menemukan keponakannya. Ia mulai mencurigai seorang murid bernama Kristo, yang dianggap memiliki hubungan dengan masa lalunya. Keyakinan ini membuat Edwin semakin dekat dengan Kristo, meski berbagai hambatan menghadang.
Perjalanan Edwin tidak mudah. Di sekolah, ia berhadapan dengan Jefri (Omara Esteghlal), siswa yang keras kepala, penuh amarah, dan terjebak dalam lingkaran dendam. Jefri bukan sekadar murid bermasalah; ia adalah sosok yang membawa pengaruh buruk, menyeret teman-temannya ke dalam kekerasan, bahkan melakukan aksi-aksi keji yang mengerikan.
Konflik mencapai puncaknya saat Edwin, Diana, Kristo, dan Rangga terjebak dalam pengepungan di sekolah. Mereka harus bertahan hidup melawan sekelompok preman sekolah yang bengis dan tidak segan menghabisi nyawa. Situasi semakin mencekam ketika terungkap bahwa kelompok ini pernah membunuh ayah Rangga dengan cara yang sangat kejam.
Dalam ketegangan yang semakin meningkat, Edwin dipaksa menghadapi dua hal sekaligus: bayang-bayang traumanya di masa lalu dan kekerasan nyata di hadapan mata. Setiap adegan film menggambarkan pertarungan antara hidup dan mati dengan intensitas tinggi, penuh darah, air mata, dan pilihan-pilihan sulit.
Pengepungan di Bukit Duri bukan hanya menyuguhkan thriller yang menegangkan, tetapi juga membawa penonton merenungkan persoalan sosial: trauma sejarah, diskriminasi, kekerasan remaja, hingga pencarian harapan di tengah kekacauan. Film ini menyayat hati, menguras emosi, dan menjadi cermin atas realitas yang kerap terabaikan. (**)