REDAKSI.pesanjabar. Indonesia saat ini tengah berada di ambang krisis yang bukan hanya bersifat sektoral, tetapi juga terstruktur dan sistemik. Krisis ini tidak berdiri sendiri; ia menjalar ke berbagai aspek kehidupan bangsa: ekonomi, politik, teknologi, lingkungan, hingga keamanan nasional. Kita tidak bisa lagi memandang persoalan ini secara parsial—sebab yang kita hadapi adalah kemerosotan menyeluruh yang saling bertaut satu sama lain.
Di sektor ekonomi, masyarakat dibuat tercekik oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. Ketimpangan distribusi bantuan sosial semakin mencolok, dan angka pengangguran, terutama di kalangan muda, terus merangkak naik. Banyak anak muda kehilangan arah dan semangat—bukan karena mereka malas, tetapi karena akses terhadap lapangan kerja dan ekonomi digital yang inklusif masih sangat terbatas.
Krisis juga nyata terasa di sektor politik. Kita menghadapi demoralisasi kepemimpinan yang mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Budaya politik transaksional bukan hanya hidup, tetapi sudah menjadi arus utama. Demokrasi kita seolah tinggal menjadi jargon dalam pesta lima tahunan—tanpa keberpihakan nyata pada keadilan sosial dan rakyat kecil.
Digitalisasi yang melaju pesat pun belum diiringi dengan kesiapan literasi digital yang memadai. Masyarakat terpapar banjir informasi, tetapi tanpa kemampuan kritis untuk memilah dan mencerna. Akibatnya, hoaks menyebar, opini publik dimanipulasi, dan data pribadi tak terlindungi. Ini adalah bentuk kerentanan baru dalam kehidupan digital yang belum ditanggulangi dengan serius oleh negara.
Sementara itu, kerusakan lingkungan terus berlangsung akibat proyek eksploitasi sumber daya alam, alih fungsi lahan, dan pencemaran. Isu keberlanjutan masih menjadi topik pinggiran dalam kebijakan negara. Padahal, inilah fondasi utama bagi masa depan bangsa dan generasi yang akan datang.
Tak kalah penting, sektor keamanan nasional kita juga menghadapi tekanan yang kian kompleks. Konflik horizontal, intoleransi, dan potensi krisis dalam ketahanan pangan, energi, serta siber, menjadi ancaman nyata. Di tengah meningkatnya tensi geopolitik global, Indonesia belum menunjukkan kesiapan penuh untuk menjaga stabilitas dalam negeri secara berkelanjutan.
Di tengah kondisi seperti ini, peran pemuda dan mahasiswa menjadi sangat krusial. Kita tidak boleh menjadi penonton dalam krisis yang sedang berlangsung. Mahasiswa harus berdiri di garda terdepan—bukan hanya untuk menyuarakan kebenaran, tapi juga untuk memperjuangkan keadilan lintas sektor. Diam berarti membiarkan negara terus terpuruk dalam kubangan masalah yang tak kunjung selesai.
Indonesia tidak akan diselamatkan oleh elit yang hanya sibuk mempertahankan kekuasaan. Ia hanya bisa diselamatkan oleh rakyat yang sadar, peduli, dan berani bergerak. Kita, kaum muda, memiliki tanggung jawab sejarah untuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan masa depan yang lebih baik.
Saatnya kita bangkit. Saatnya kita bersuara. Saatnya kita bergerak.
Penulis :
Muhammad Ikhsanurrizqi
Ketua BEM PTNU Se-Nusantara