Refleksi Qur’ani atas Kebangkitan dan Kejatuhan: Dari Bani Israil ke Israel Modern            

"Dalam narasi wahyu, kezaliman selalu berujung pada kehancuran-namun Al-Qur’an tidak berhenti di sana. Ia mengajak kita membangun masa depan yang adil." (Dr. Fuad Nawawi, M.Ud)

REDAKSI – Di tengah geopolitik Timur Tengah yang kian memanas, perang antara Israel dan Iran kembali menyita perhatian dunia. Tidak sedikit umat Muslim yang mengaitkan eskalasi ini dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, khususnya QS al-Isra: 4-5. Ayat tersebut berbicara tentang kerusakan yang dilakukan Bani Israil di muka bumi dan bagaimana Allah mengutus hamba-hamba-Nya yang kuat untuk menghukum mereka. Dalam narasi yang berkembang di media sosial, banyak yang meyakini bahwa kehancuran Israel hari ini adalah realisasi dari janji Tuhan itu sendiri.

Namun, benarkah ayat tersebut merupakan prediksi langsung tentang peristiwa hari ini? Benarkah sejarah selalu mengulang dirinya dalam siklus yang tak bisa dihindari atau justru Al-Qur’an mengajak kita untuk berpikir lebih reflektif dan etis terhadap arah sejarah dan bagaimana peran kita di dalamnya?

Apakah QS al-Isra: 4-5 Bicara tentang Israel Modern?

Ayat yang sering dikutip berbunyi:

“Kami wahyukan kepada Bani Israil dalam Kitab itu: ‘Kamu benar-benar akan membuat kerusakan di bumi ini dua kali dan benar-benar akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ Apabila datang saat (kerusakan) pertama dari keduanya, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang perkasa, lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Itulah janji yang pasti terlaksana.” (QS al-Isrā’ [17]: 4-5)

Secara konteks historis, beberapa tafsir memahami ayat ini sebagai rujukan terhadap dua momen kerusakan besar Bani Israil: pertama, ketika mereka menolak para nabi dan dibinasakan oleh Babilonia (Tafsir Qurthubi dan Asad), dan kedua, ketika mereka membunuh Nabi Zakaria dan Nabi Yahya (Tafsir Thabari). Membaca ayat ini sebagai “ramalan langsung” tentang Israel modern adalah lompatan hermeneutis yang bermasalah jika tanpa pertimbangan tafsir dan konteks Sejarah. Al-Qur’an menyampaikan kisah masa lalu bukan untuk menjadikan kita pemburu nubuat, melainkan mengajak memahami masa lalu dan tahu di mana kita harus berdiri.

Belajar dari Sejarah

Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: bagaimana Al-Qur’an ingin kita membaca sejarah?

Dalam narasi-narasi wahyu, kita memang menemukan pola berulang: kezaliman melahirkan kehancuran, kesombongan melahirkan keruntuhan. Ini memberi kesan bahwa sejarah itu sirkular. Namun, risalah para nabi juga menunjukkan arah progresif: dari komunitas kecil yang tertindas menuju masyarakat transformatif yang lebih adil dan setara. Di sisi lain, seperti diingatkan Michel Foucault, sejarah juga dipenuhi retakan episteme (rupture): momen ketika cara berpikir umat manusia berubah secara radikal. Kita bisa melihat itu dalam sejarah Islam: hijrah Nabi bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi rupture (perombakan cara berfikir) dari tatanan jahiliah.

Maka, perang hari ini seharusnya tidak sekedar kita maknai sebagai sejarah yang berulang, tapi juga yang lebih penting sebagai ujian etis dan kemanusiaan.

Keberpihakan Kita: Kepada Siapa?

Saat perang berkecamuk, selalu ada yang kehilangan. Dan yang paling menderita bukan elite politik atau pemegang senjata, tetapi lebih banyak korban rakyat sipil: anak-anak, perempuan, keluarga yang rumahnya hancur, masa depan yang direnggut.

Dalam situasi seperti ini, keberpihakan umat beriman diuji. Al-Qur’an menyeru:

“Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas” (QS An-Nisa: 75)

Perang dalam konteks kita di sini adalah mengkritik arogansi Israel dan Amerika yang di luar batas kemanusiaan melakukan Genosida terhadap rakyat Palestina. Kita perlu bersikap tegas dalam membela rakyat Palestina yang selama puluhan tahun hidup di bawah penjajahan, pengusiran, dan ketidakadilan. Perjuangan mereka untuk merdeka dan berdaulat atas tanah air sendiri adalah hak asasi yang harus didukung dan terus diperjuangkan.

Penulis:

Dr. Fuad Nawawi, M.Ud (Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam)  Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *