Jumlah Guru Bahasa Daerah Terus Menurun, Kolaborasi dan Kreativitas Jadi Kunci Pelestarian

kemendikdasmen.go.id/PESANJABAR
Jumlah Guru Bahasa Daerah Terus Menurun, Kolaborasi dan Kreativitas Jadi Kunci Pelestarian

PADANG, Pesanjabar.com – Kekhawatiran terhadap semakin berkurangnya jumlah guru bahasa daerah di Indonesia disampaikan oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikdasmen, Hafidz Muksin, dalam dialog khusus di TVRI Sumatera Barat. Turut hadir Kepala Balai Bahasa Sumbar Rahmat, serta dua pelestari budaya Minangkabau, Matron Masdison dan Jawahir.

Hafidz menegaskan pentingnya menjaga eksistensi bahasa daerah sebagai identitas budaya bangsa. Dari 718 bahasa daerah di Indonesia, banyak yang kini berada dalam kondisi kritis. Melalui Program Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) yang dimulai sejak 2021, pemerintah telah merevitalisasi 114 bahasa, termasuk bahasa Minangkabau.

“Bahasa Indonesia memang bahasa pemersatu, tapi bahasa daerah adalah cermin jati diri lokal. Pelestarian harus dimulai dari ruang kelas, dan guru berperan besar dalam proses ini. Sayangnya, banyak guru belum memiliki kompetensi khusus untuk mengajarkannya,” ujarnya.

Hafidz menambahkan bahwa pelibatan budayawan, seniman, serta ruang-ruang kreatif seperti lomba pantun, pementasan badendang, hingga festival cerita rakyat sangat diperlukan agar anak-anak bisa belajar bahasa daerah secara alami dan menyenangkan.

Ancaman Kepunahan Juga Terjadi di Daerah Asal

Kepala Balai Bahasa Sumbar, Rahmat, mengingatkan bahwa penggunaan bahasa daerah kian menurun, bahkan di daerah mayoritas penuturnya seperti Sumatera Barat. Ia mengapresiasi inisiatif daerah seperti Hari Berbahasa Daerah yang dinilai efektif menjaga eksistensi bahasa Minang.

Sementara itu, budayawan Matron Masdison menyoroti minimnya bahan ajar yang relevan dan sesuai usia di sekolah. Menurutnya, materi lokal seperti dongeng dan pantun Minang perlu dikembangkan agar pembelajaran lebih kontekstual dan berakar pada budaya.

Pelestarian Butuh Peran Masyarakat

Pelestari budaya Jawahir berbagi pengalamannya membentuk ruang belajar bahasa Minang di lingkungannya. Ia bersama warga mengajarkan anak-anak berpantun dan berdendang dalam suasana santai dan menyenangkan.

“Lingkungan kami jadi tempat anak-anak belajar bahasa ibu dengan gembira. Kolaborasi kecil seperti ini bisa jadi benteng pelestarian,” ungkapnya.

Menutup dialog, Hafidz menekankan bahwa pelestarian bahasa bukan semata soal teknis pendidikan, melainkan soal kesadaran dan kolaborasi lintas sektor.

“Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi cara berpikir dan menyampaikan nilai. Kita butuh peran aktif guru, orang tua, budayawan, pemerintah daerah, dan media untuk menjaga warisan bahasa kita,” pungkasnya. (*)

Source: kemendikdasmen.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *