Pesanjabar.com – Dunia berubah begitu cepat. Perkembangan teknologi yang sangat pesat telah berdampak pada akselerasi perubahan di segala lini kehidupan. Begitu juga dalam konteks Pendidikan, Teknologi berkembang dalam hitungan bulan, informasi datang silih berganti, dan tantangan global makin kompleks dari hari ke hari. Kita hidup dalam dunia yang disebut VUCA: Volatile (tidak stabil), Uncertain (tidak pasti), Complex (rumit), dan Ambiguous (membingungkan). Generasi hari ini dihadapkan pada kebingungan untuk memilih informasi yang tepat dan selaras dengan kebutuhan dirinya saat ini. Arus informasi yang deras dan cenderung memberikan pemahaman yang sama tidak secara otomatis dapat dijadikan andalan untuk pengetahuan, pembelajaran bahkan pengambilan Keputusan. Semua informasi yang disuguhkan perlu untuk dikonfirmasi secara berlanjut secara teknis yang lebih implementatif. Dalam kondisi seperti ini, generasi muda menjadi penentu arah masa depan bangsa. Namun, pertanyaannya adalah: apakah mereka siap?
Menyiapkan generasi muda bukanlah tugas kecil. Ia memerlukan pendekatan holistic, bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga tentang karakter, daya juang, jejaring global, dan nilai hidup. Era kekinian memberikan banyak fasilitas pembelajaran untuk mendukung pengetahuan generasi kini, akan tetapi derasnya pengetahuan dan informasi itu beringinan dengan ketidaktahuan generasi ini untuk memilah dan memilih mana yang semestinya mereka ambil. Setidaknya, Ada empat pilar tawaran penting yang harus kita siapkan agar generasi muda tidak hanya mampu bertahan, tapi juga unggul dan memberi pengaruh positif, yakni: Pendidikan yang berkualitas, relasi, resiliensi, dan nilai religius.
1. Pendidikan Berkualitas: Investasi Terbaik Sepanjang Masa
Pendidikan adalah fondasi utama. Sesuai isu strategis dalam SDGs (Sustainable Development Goals) poin keempat disebutkan Quality Education. Isu Pendidikan global ini berkaitan dengan akses Pendidikan, mutu Pendidikan, kualitas guru, infrastuktur, ketimpangan gender dan sosial, dan tantangan Pendidikan anak usia dini. Isu-isu global tersebut menjadi target peningkatan di masa mendatang agar bisa diperbaiki agar kualitas Pendidikan semakin membaik. Untuk mencapai Pendidikan berkulitas itu, di setiap generasi memiliki strategi yang berbeda dalam perlakuan peserta didik itu sendiri. Pendidikan tak bisa lagi semata-mata berorientasi pada akademik atau kurikulum konvensional. Kita membutuhkan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan sosial dan industri, serta mendorong lahirnya manusia yang adaptif.
Generasi muda perlu mendapat pendidikan yang seimbang antara hard skill dan soft skill. Hard skill seperti literasi digital, bahasa asing, dan pemahaman teknologi menjadi penting, namun tidak boleh mengabaikan kemampuan komunikasi, kerja sama, kepemimpinan, hingga manajemen emosi. Perkembangan teknologi telah menjadi penciri kehidupan masa kini, akan tetapi manusia harus bisa menjadi pengendali teknologi itu sendiri. Menempatkan teknologi sebagai asisten dalam penyelesaian urusan kehidupan harus menjadi pilihan kini, bukan kita yang terjebak dalam disrupsi teknologi itu sendiri. Maka, soft skill generasi muda harus diperkuat dalam upaya memaknai kehidupan mereka dalam arus perubahan yang begitu cepat.
Selain itu juga, pendidikan juga perlu dilengkapi dengan pelatihan (training) dan pembinaan berkelanjutan (coaching & mentoring). Banyak potensi anak muda justru terasah bukan di ruang kelas formal, melainkan melalui proyek-proyek nyata, komunitas, dan pengalaman lapangan. Pemahaman melalui pengalaman pembelajaran individu menjadi hal yang krusial dalam Pendidikan hari ini. Generasi muda harus menemukan formula sendiri dalam pembelajaran mereka melalui stimulant yang diberikan oleh guru, mentor, trainer, atau coach. Semakin mereka enjoy dalam projek-projek pembelajaran maka semakin kuat mereka menemukan makna dalam pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran harus tercipta sebagai sebuah proses kebahagian dan keingintahuan (happiness in curiosity). Investasi dalam pendidikan bukan soal uang semata, tetapi soal memberi waktu, perhatian, dan kesempatan. Semakin dini generasi muda terlibat dalam ekosistem pembelajaran bermakna (meaningful learning), semakin besar peluang mereka bertumbuh menjadi pribadi unggul.
2. Relasi Global dan Literasi Digital: Menjadi Warga Dunia
Di era digital, relasi menjadi aset yang tak kalah penting dari ijazah. Generasi muda hari ini harus terhubung dengan komunitas global, karena tantangan mereka tak hanya berskala lokal. Dunia kerja, bisnis, bahkan gerakan sosial kini lintas negara dan budaya. Relasi global akan mendorong generasi muda untuk mengadaptasi diri dengan berbagai kompetensi dan skil yang mereka miliki. Bahasa adalah salah satu kebutuhan mendasar bagi generasi muda untuk mampu bergaul di kancah global. Di sinilah peran organisasi baik di kampus maupun di Masyarakat yang mampu mendidik bagaimana generasi muda sadar terhadap komunitas. Kualitas diri yang dimiliki tidak akan mudah ditawarkan kepada public jika individu tersebut miskin relasi.
Untuk itu, mereka perlu menguasai AI Literacy, pemahaman dasar tentang kecerdasan buatan, penggunaannya, serta dampaknya terhadap kehidupan manusia. Generasi muda hari ini menjadi sebuah keniscayaan untuk memahami teknologi. Pemahaman terhadap teknologi tidaklah berhenti pada level mengetahui, akan tetapi mereka juga harus mampu mengembangkan (develop) dan juga membuat (design). Karena semakin baik pemahaman terhadap teknologi, maka pemahaman tersebut tidak hanya secara teknis, tapi juga secara sosial dan ekonomi.
Selain itu, mereka perlu literasi media sosial yang kuat. Media sosial tidak hanya tempat hiburan, tapi juga ruang diskusi, branding diri, dan bahkan membangun karier. Literasi ini mencakup kemampuan memilah informasi, membangun citra diri positif, dan menjaga etika dalam komunikasi digital. Inilah kebutuhan generasi hari ini dalam kacah pergaula dunia berbasis digital. Mereka harus muncul dengan identitas diri yang diwarnai dengan kompetensi dan skil yang kuat. Disiplin ilmu yang mereka dalami akan menjadi daya juang tinggi di mata dunia. Karena mereka yang bisa bertahan dalam komunitas internasional adalah mereka yang mampu menunjukkan kualitas diri dari sisi kompetensi dan skil nya itu.
Sehingga, dengan koneksi yang luas, sehat, dan strategis, maka generasi muda dapat membuka banyak pintu peluang untuk mendukung masa depan mereka. Pintu sukses potensial itu dapat berwujud akses beasiswa, kolaborasi riset, peluang kerja, hingga pengaruh sosial yang positif sebagai daya dorong kuat untuk menjadi pribadi sukses.
3. Resiliensi: Tangguh di Tengah Ketidakpastian
Kunci ketiga generasi muda dalam mencapai kesuksesan adalah resiliensi. Kunci ini dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan dalam tekanan dan bangkit dari kegagalan adalah keterampilan utama di abad ini. Di tengah disrupsi teknologi, perubahan iklim, dan ketidakpastian global, resiliensi menjadi pembeda antara mereka yang berhasil dan mereka yang menyerah. Dengan semakin tak terkendali arus informasi global yang disuguhkan maka akan berbanding lurus pula dengan tantangan dan ancaman masa depan generasi. Mode Tangguh ini dicerminkan dengan sikap pribadi yang senantiasa berani belajar dari perubahan, beradaptasi dengan perubahan dan mengendalikan perubahan. Di sinilah peran penting generasi muda yang Tangguh untuk tetap menjadi pemeran bukan sekedar penonton.
Resiliensi terbentuk dari pola pikir yang tepat, terutama pola pikir bertumbuh (growth mindset). Generasi muda perlu didorong untuk melihat tantangan sebagai peluang belajar. Mereka harus terbiasa dengan proses, bukan hanya hasil. Setidaknya, ada tiga hal penting untuk menjadikan diri sebagai pribadi Tangguh dengan pola pikir bertumbuh. Pertama, Berpikir kritis, untuk menganalisis masalah dengan jernih. Berpikir kritis dicerminkan dengan perilaku yang senantiasa mengedepankan aspek-aspek rasional dan berdampak. Karena dari pertimbangan critical thinking itu maka individu akan lebih siap menghadapi resiko atas Keputusan dalam hidupnya. Kedua, Kreativitas, untuk mencari solusi inovatif dalam situasi terbatas. Kreativitas adalah kunci utama bagi setiap individu untuk mampu merespon segala perubahan. Nilai tinggi kreativitas dapat terlihat pada diri seseorang ketika diberikan challenge untuk terus mengambil peluang untuk tumbuh. Kreativitas senantiasa melihat semua peristiwa dari sisi peluang bagi dirinya. Sehingga, kondisi apapun bisa menjadikan posisi strategis untuk terus bertumbuh dan berkembang. Ketiga, Fleksibilitas. Prinsip ini dipamahi sebagai sebuah perilaku yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat tanpa kehilangan jati diri. Perubahan yang sudah menjadi keniscyaan direspon dengan penuh kesadaran. Fleksibilitas merupakan ciri individu yang mampu mengimbangi perubahan, menguasai perbedaan, dan mengendalikan diri untuk tetap menjadi pemeran dalam perubahan itu sendiri. Fleksibilitas bukan berarti melepas jadi diri, tapi justru dengan kekayaan kualitas diri maka ia mampu menyeimbangkan dirinya dari perubahan itu sendiri. Di sinilah inti resiliensi yang akan mendongkrak generasi muda untuk tetap optimis dan produktif, bahkan dalam tekanan sekalipun.
4. Berbasis Nilai Religius: Keseimbangan dan Kematangan Hidup
Di tengah laju kehidupan modern yang cepat dan kompetitif, nilai-nilai spiritual tetap menjadi jangkar yang menyeimbangkan. Tindakan yang dilandasi oleh ketaqwaan, nilai moral, dan kesadaran diri akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak dan berjiwa besar. Kesimbangan antara inteligensi, emosi dan spiritual, seperti sering digaungkan oleh Motivator Handal pa Ary Ginanjar, menunjukan kondisi paripurna manusia. Bagaimana mereka berjalan dengan keputusan yang terukur, kontekstual dan transenden. Kekuatan nilai religious menghantarkan individu untuk menjadi pribadi yang tidak sekedar bisa hidup untuk dirinya, akan tetapi ia mempu menebarkan manfaat untuk semesta.
Nilai religius bukan berarti menjauh dari dunia, melainkan menjadikannya sarana pengabdian. Generasi muda yang matang secara spiritual akan lebih stabil emosinya, lebih seimbang dalam mengambil keputusan, dan lebih kuat dalam menghadapi krisis. Dalam konteks ini, pendidikan karakter tidak boleh absen. Konteks ini juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh Mendikdasmen RI, Prof Abdul Mu’ti dalam pendekatan pembelajaran Deep Learning-nya, bahwa keparipurnaan individu terdiri dari kesimbangan antara olah pikir yang mengedepankan intelektual, olah hati yang mengedepankan etika, olah rasa yang mengedepankan estetika dan olah raga yang mengedepankan kinestetik. Keempat prinsip olah ini menjadi satu kesatuan dalam pola niat, ucap dan perilaku manusia. Kita juga perlu membangun keseimbangan antara prestasi dan kesehatan mental, antara semangat bersaing dan empati sosial. Generasi religius bukan berarti konservatif, tetapi justru memiliki kesadaran nilai yang memandu tindakan.
Menutup Kegamangan, Membuka Harapan
Tantangan generasi muda hari ini memang berat. Namun, dengan bekal pendidikan yang tepat, jejaring yang sehat, daya lenting yang kuat, dan nilai hidup yang jernih, mereka akan menjadi agen perubahan yang membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Para pendidik, orang tua, pemimpin, dan pemangku kebijakan memegang peran kunci. Kita tak bisa hanya jadi penonton. Saatnya kita bergandengan tangan memastikan bahwa generasi muda Indonesia tidak hanya siap menghadapi masa depan, tetapi juga menciptakannya.
Membangun jiwa optimisme itu merupakan hal yang sangat fundamental. Karena inspirasi hadir hanya pada diri mereka yang memiliki jiwa optimis tinggi dalam hidupnya. Optimisnya akan menggiring individu ke gerbang kesuksesan; membangun growth mindset pada diri, membangun networking di setiap lini kehidupan, berani belajar dari orang lain, dan senantiasa menjadikan proses sebagai sebuah perjalanan yang mengasyikan. Tidak ada cara lain untuk bisa menghadapi ketidakpastian kehidupan yang profan ini selain dengan menguatkan skil dan kompetensi, bekerja berbasis komunitas dan menciptakan sistem kehidupan yang saling menguatkan satu sama lain.
Penulis:
Dr. Nanan Abdul Manan, M.Pd.
Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Kuningan
Ketua ICMI Orda Kuningan (**)